
Untuk para pemula yang bepergian sendirian, memilih paket perjalanan terbuka yang sesuai merupakan aspek penting agar dapat menenangkan diri dengan mudah dan menghindari kekhawatiran serta pengeluaran berlebihan, terutama bagi Anda yang berasal dari kota besar seperti Jakarta. Lalu, apa sebenarnya artinya 'open trip'?
Perjalanan terbuka merupakan perjalanan keliling kota yang diselenggarakan oleh penyedia layanan wisata untuk semua orang yang dapat berpartisipasi secara individu tanpa harus mengumpulkan rombongan sendiri. Oleh karena itu, bagi Anda para pelancong tunggal yang ingin menjalankan aktivitas ini, opsi perjalanan terbuka bisa menjadi alternatif yang tepat.
Sayangnya, tidak selalu terjadi bahwa setiap perjalanan terbuka berlangsung dengan kesenangan lantaran Anda harus berkompromi bersama para peserta lain yang belum dikenali. Hal ini bisa jadi tantangan ketika peserta dalam sebuah tur terbuka datang bersama kelompok masing-masing sehingga pendapat mayoritas umumnya menetapkan arah kebijakan bagi penyelenggara wisata.
“Open Trip akan menyenangkan jika kamu bertemu peserta yang ramah, berpikiran terbuka, dan dapat berkompromi.”
Untuk Anda yang berencana mengikuti open trip atau bepergian sendirian, pilihan open trip yang ramah bagi para peserta tunggal sangat penting. Mengapa demikian? Sebab tidak seluruh penyelenggara tur memiliki aturan untuk menemukan solusi saling menguntungkan ketika situasi tak sesuai harapan muncul.
Penting untuk kamu sebagai solo traveler memahami bahwa saat mengikuti open trip, kamu harus bisa membagi kenyamanan bersama, bukan hanya kenyamanan personal atau kelompok tertentu karena setiap individu memiliki hak yang sama.
Namun jika mengontrol diri sendiri terasa sulit untuk dilakukan, peran dari tour organizer yang diwakili oleh tour guide menjadi penting untuk dilakukan sehingga memiliki aturan atau rules yang mengikat untuk semua peserta merupakan kewajiban dari penyedia open trip.
Artikel ini akan mengeksplorasi pengalaman pribadi saat berpartisipasi dalam perjalanan tunggal bersama grup tur terbuka yang diselenggarakan oleh salah satu penyedia layanan wisata, yakni Tripacker atau PT. Tripacker Indonesia Group. Harap diperhatikan bahwa tulisan ini bertujuan memberikan umpan balik konstruktif kepada penyedia jasa tersebut dan juga menyajikan pembelajaran signifikan bagi para peserta dari perjalanan terbuka.
Pengalaman Petualangan Bersama Tripacker Melalui Perjalanan Terbuka untuk Kegiatan CanyoneeringTripacker merupakan sebuah biro perjalanan wisata yang berasal dari Bekasi, Jawa Barat dan sudah berkecimpung dalam industri ini mulai tahun 2014. Mereka menawarkan ragam pilihan perjalanan termasuk tur privat, bulan madu khusus, serta paket liburan terbuka.
Tripacker menyediakan berbagai pilihan tempat wisata, seperti Canyoneering Curug Cikondang di Cibubur. Kegiatan canyoneering melibatkan penurunan diri dari tebing yang menghadap langsung ke air terjun. Tempat ini sangat sesuai bagi Anda yang mencari sensasi adrenalin.
Sayangnya, adrenalin yang diantisipasi datang dari melompat turun tebing bisa diganti dengan tekanan dari para partisipan lain serta pemandu wisata jika kamu telat 15 sampai 20 menit lebih lambat dari jadwal yang telah disepakati.
Tentu saja sebagai makhluk manusia, kita semua menginginkan agar kehidupan berlangsung sebagaimana mestinya, betul? Misalnya seperti melakukan perjalanan tepat pada waktunya, bertemu orang-orang baru yang ramah dan seru, serta bersenang-senang untuk melupakan penat dari hiruk pikuk kota besar sambil merasakan keindahan alam di luar sana.
Akan tetapi, jika situasi ideal tersebut tidak terwujud dengan baik, dibutuhkan suatu mekanisme pengaman agar semua pihak yang sudah membayar jumlah yang sama dapat memperoleh hasil yang seadil mungkin.
Maka diperlukan peraturan yang berlaku mengikat untuk semua peserta, baik yang mengikuti open trip seorang diri (solo traveler) maupun group. Misalnya, bare maksimal keterlambatan yang dapat ditolerir bersama bukan berdasarkan suara majority sesuai trip masing-masing.
Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh solo traveler yang ingin open trip? Jangan terlambat. Tidak semua guide memiliki kompetensi untuk memimpin team (leadership) dan mencari solusi bersama, dan tidak semua peserta memvalue hal yang sama.
Perjalanan perdana bersama Tripacker terhenti karena satu orang peserta datang terlambat; sementara sisanya telah tepat waktu harus rela menanti hingga dia tiba, membuat jadwal keberangkatan tertunda selama 45 hingga 60 menit. Meski ada keluhan, kita tetap sabar menantikan dan akhirnya memulai petualangan bersama tanpa masalah.
Sayangnya pada journey open trip kedua, 180 derajat berbeda, dimana saya merupakan peserta yang terlambat dan mendapatkan pressure untuk menyusul ke mepo selanjutnya (Cibubur).
Akibat keterlambatan 10 menit dari waktu yang ditentukan (03.10), dimana posisi saat itu hanya 10 menit lagi (gmaps live) atau 7 menit (real time) dari posisi meeting point di Cawang UKI, saya didesak agar rombongan berangkat lebih dahulu ke Cibubur.
Dengan keterlambatan 17-20 menit, konsekuensi untuk ‘ditinggal’ dari mepo awal dan menyusul ke mepo selanjutnya (Cibubur) harus saya terima dengan waktu yang diberikan hanya 15 menit. Maka, secara common sense, apakah memungkinkan saya bisa menyusul ke Cibubur dengan rental mobil online di jam 03.30 dalam waktu 10 menit?
Inilah saatnya menghargai kebijakan bijak dari sang pemandu wisata bahkan pemilik usaha dalam mengevaluasi untung-rugi dari setiap keputusan yang dibuat. Akhirnya, saya harus membatalkan perjalanan tersebut dan merelakan biaya pendaftaran open trip senilai 600 ribu rupiah hilang.
Apakah ini hanya sekedar persoalan dari ‘saya salah, saya terlambat, dan layak untuk tidak mengikuti open trip’, tidak sesederhana itu. Namun, ini tentang inkompetensi dari guide tour, tidak adanya aturan yang jelas, self center, dan ekspektasi yang tidak bertemu realita.
Apakah ada pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman Open Trip Canyoneering oleh Tripacker bagi para traveler tunggal?Kenyataan bahwa saya terlambat adalah fakta. Namun, hal yang paling menyakitkan adalah saat saya mengutarakan pengalaman yang saya alami kepada admin, respon yang diberikan adalah menyalahkan tanpa ada pengertian sama sekali.
"Telah dikonfirmasi dengan baik kepada pemimpin rombongan serta pemiliknya, namun saudara tersebut tetap memiliki kesalahan karena datang terlambat ketika pertemuan di titik kumpul." Ini merupakan respons yang saya peroleh.
Apakah aku kecewa? Sudah pasti. Sebagai pelanggan yang mengungkapkan keluhan serta memberikan saran pada pemberi layanan, tanggapanku malah bertemu dengan tuduhan bukannya pemahaman.
Kemudian saya mencoba MENGIZINKANmereka.
Menurut saya itu adalah sebuah kesalahan ketika saya berharap jika saya mampu menanti para peserta selama satu jam, maka orang lain juga pastinya akan dapat melakukannya dengan baik. Saya mengantisipasi bahwa seperti tour guide pertama yang berhasil meredakan keadaan, tour guide selanjutnya pun harus dapat melakukan hal serupa.
Sebenarnya, itu adalah kesalahan! Dunia tidak bekerja dengan cara tersebut, saya tak dapat mengendalikan perilaku orang lain agar mereka bertindak sebagaimana diri saya melaksanakan tugasnya. Sehingga peningkatan sederhananya ialah jangan datang terlambat dan hindari berspekulasi bahwa orang lain akan mampu melakukan hal serupa.
Untuk para peserta yang lain, penting bagi mereka untuk menyadari bahwa dalam sebuah perjalanan terbuka (open trip), hal tersebut tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun kelompok tertentu. Sebaliknya, sikap empati harus diutamakan dengan pemahaman 'kondisi serupa mungkin juga menimpa diriku'. Meski demikian, mengatur keputusan orang lain bukanlah tanggung jawab saya.
Yang paling ditonjolkan adalah ketidakmampuan penyedia jasa dalam memilih tour guide. Guide ini bukan hanya bertugas membawa peserta ke tempat wisata tetapi juga harus menciptakan suasana yang nyaman meskipun situasinya kurang mendukung.
Perlu adanya ketentuan yang tegas agar tak ada peserta yang merugi. Lalu, bagaimana dengan inti dari perjalanan bersama apabila hanya mendukung sebagian pihak? Ini bukan berarti para peserta diperbolehkan datang telat, melainkan aturan tersebut diciptakan untuk mengantisipasi situasi-situasi yang mungkin tak sesuai harapan supaya semua peserta sadar akan dampak dari setiap tindakan mereka mulai awal.
Apabila trip planner (dalam konteks ini yaitu Tripacker) menetapkan pedoman yang jelas mengenai waktu tunggu paling lama, pastinya saya akan merasa lebih 'sabar' sebab dampak dari kekeliruan saya telah ditentukan sejak awal.
Sayangnya, pada kesempatan sebelumnya, peserta dapat ditolerir kedatangannya hingga 45-60 menit terlambat. Namun dalam situasi lain, jika seseorang datang 15-20 menit setelah jadwal, perjalanan tersebut akan dibatalkan dan mereka tidak mendapatkan pengembalian uang. Akibatnya, orang-orang mengalami kerugian finansial dan kemudian melakukan peningkatan keluhan kepada administrator. Respon yang didapat hanya "SAYA SALAH. Titik," tanpa adanya permintaan maaf, pemahaman atau rasa simpati.
Terdapat beberapa pembelajaran berharga yang didapatkan saat mengelola sebuah usaha di masa depan, yaitu:
Meskipun pelanggan Anda keliru, menyampaikan 'mohon maaf atas ketidaknyamanan yang diderita' tetaplah sangat signifikan dan bermakna sebagai ungkapan simpati.
Maka, Apakah Tripacker merupakan penyelenggara perjalanan terbuka yang ramah bagi pelancongan mandiri? Jawaban ini bisa berdasarkan opini pribadi masing-masing, sebab setiap individu pasti memiliki sudut pandang dan nilai-nilai yang dianggap penting oleh dirinya sendiri.
Saya menghargai dinamika kelompok komunikatif serta empati sebagai hal-hal yang penting, namun menurut saya Tripacker tidak tepat bagi saya. Mungkin ini lebih pas untuk orang lain, ya?
Semoga bisa menjadi perbaikan untuk kita bersama.