Posts

Masjid Raya Al-Mashun: Simbol Sejarah dan Keindahan Arsitektur di Kota Medan

Masjid Raya Al-Mashun: Simbol Sejarah dan Keindahan Arsitektur di Kota Medan

Di tengah hiruk-pikuk kota Medan, Sumatera Utara, berdiri megah sebuah bangunan yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah dan kejayaan Kesultanan Deli. Masjid Raya Al-Mashun, atau lebih dikenal sebagai Masjid Raya Medan, adalah salah satu ikon budaya dan religius yang tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi juga estetika arsitektur yang menarik perhatian. Dibangun pada tahun 1906 dan selesai pada 1909, masjid ini merupakan hasil dari perpaduan gaya arsitektur Timur Tengah, India, dan Spanyol. Selain itu, masjid ini juga memiliki tradisi unik yang terus dilestarikan hingga saat ini, seperti pembagian bubur sop selama bulan Ramadan.

Sejarah Pembangunan Masjid Raya Al-Mashun

Masjid Raya Al-Mashun dibangun atas prakarsa Sultan Ma'mun Ar-Rasyid Perkasa Alam, pemimpin Kesultanan Deli pada masa itu. Pembangunan dimulai pada tanggal 21 Agustus 1906, bertepatan dengan 1 Rajab 1324 Hijriyah. Proses pembangunan memakan waktu hampir tiga tahun dan selesai pada 10 September 1909. Pada hari itu, salat Jumat pertama dilaksanakan di masjid tersebut, menjadi momen penting dalam sejarah masjid ini.

Anggaran pembangunan keseluruhan mencapai satu juta gulden Belanda, yang berasal dari kas Kesultanan Deli, bantuan dari Deli Maatschappij (perusahaan kolonial), dan donasi dari Tjong A Fie, seorang pengusaha Tionghoa yang kaya raya di Medan saat itu. Sultan Ma'mun sendiri memegang prinsip bahwa masjid harus lebih utama daripada istananya sendiri, Istana Maimun. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya masjid bagi masyarakat dan pemerintahan Kesultanan Deli.

Gaya Arsitektur yang Unik

Arsitektur Masjid Raya Al-Mashun sangat unik karena menggabungkan elemen-elemen dari tiga budaya yang berbeda: Timur Tengah, India, dan Spanyol. Bentuk bangunan masjid berbentuk segi delapan dengan kubah besar di tengah. Di bagian selatan, timur, utara, dan barat, terdapat sayap-sayap yang menambah kesan megah dan simetris. Detail ukiran yang rumit di dinding serta jendela kaca patri yang berwarna-warni mencerminkan kehalusan seni arsitektur masa lalu.

Interior masjid juga tidak kalah indah. Lampu gantung kristal yang didatangkan dari Perancis, lantai marmer Italia, mimbar kayu berukir khas India, dan jendela kaca patri yang berwarna-warni memberikan kesan mewah dan religius. Setiap sudut masjid menyimpan cerita dan keindahan yang membuat pengunjung merasa terpukau.

Tradisi Bubur Sop yang Menghidupkan Bulan Ramadan

Selama bulan Ramadan, Masjid Raya Al-Mashun tidak hanya ramai dikunjungi oleh jamaah yang ingin menunaikan ibadah salat, tetapi juga menjadi tempat yang dinanti-nanti oleh masyarakat sekitar. Salah satu tradisi yang terkenal adalah pembagian bubur sop. Tradisi ini telah berlangsung sejak tahun 1960-an, awalnya dengan bubur pedas yang merupakan makanan khas bangsawan Melayu. Namun, karena proses pembuatannya yang rumit, sejak tahun 1970-an digantikan dengan bubur sop yang lebih sederhana.

Bubur sop terbuat dari beras, daging sapi, kentang, wortel, dan bumbu rempah-rempah khas Melayu. Rasanya gurih dan hangat, cocok untuk berbuka puasa. Selama bulan Ramadan, bubur sop dibagikan secara gratis kepada jemaah dan masyarakat sekitar. Persiapan untuk menyajikan bubur sop ini dimulai minimal 10 hari sebelum Ramadan, dengan persediaan bahan-bahan seperti beras, daging sapi, bawang, garam, daun sop, kentang, dan wortel.

Keberlanjutan Tradisi dan Nilai Budaya

Tradisi bubur sop di Masjid Raya Al-Mashun tidak hanya tentang menikmati makanan lezat, tetapi juga tentang kebersamaan dan berbagi. Bagi masyarakat Medan, tradisi ini menjadi simbol kedermawanan dan semangat gotong royong yang masih terjaga. Setiap sore menjelang waktu berbuka puasa, ratusan orang antri dengan membawa mangkuk dan rantang untuk mendapatkan bubur sop. Tomo, salah satu petugas yang sudah 35 tahun memasak bubur sop, menjelaskan bahwa bubur sop disajikan dalam jumlah yang cukup besar, yaitu lebih dari 500 porsi untuk jemaah masjid.

Selain bubur sop, jemaah juga dapat mencicipi menu buka puasa lainnya seperti teh manis, kurma, dan kue-kue. Untuk masyarakat yang ingin membawa pulang bubur sop, mereka bisa antri setelah salat Ashar. Tradisi ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Medan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara.

Masjid Raya Al-Mashun sebagai Cagar Budaya

Masjid Raya Al-Mashun tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga situs bersejarah yang dilindungi undang-undang. Menurut sejarawan dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Dr Yusra Dewi Siregar, masjid ini tidak pernah mengalami renovasi besar-besaran sejak dibangun. Hal ini dilakukan untuk menjaga keaslian dan nilai historis bangunan tersebut.

Selain itu, konon ada terowongan bawah tanah yang menghubungkan Istana Maimun dengan Masjid Raya Al-Mashun. Meski tidak ada bukti konkret, legenda ini menambah aura mistis dan sejarah yang kaya akan makna. Kini, meskipun terpisah jarak sekitar 200 meter, Istana Maimun dan Masjid Raya Al-Mashun tetap menjadi ikon Kota Medan yang saling melengkapi.

Kesimpulan

Masjid Raya Al-Mashun adalah lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia adalah simbol kejayaan Kesultanan Deli, representasi keindahan arsitektur, dan pusat tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini. Dari segi sejarah, nilai budaya, hingga keunikan tradisi, masjid ini menjadi destinasi yang layak dikunjungi. Bagi pengunjung, baik lokal maupun internasional, Masjid Raya Al-Mashun menawarkan pengalaman yang tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga memberikan ketenangan dan keharmonisan dalam suasana religius yang kental.

Post a Comment

© RESTINDO. All rights reserved. Developed by Jago Desain