
Desa Adat: Harmoni Budaya dan Alam yang Nyata
Di tengah keindahan alam Indonesia, yang terdiri dari pegunungan, pantai, dan hutan tropis, terdapat desa-desa adat yang menjaga kearifan budaya sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat di tempat-tempat ini hidup selaras dengan lingkungan, menjaga hutan, air, dan tanah melalui tradisi yang diwariskan turun-temurun. Wisata berbasis adat bukan hanya tentang melihat budaya, tetapi juga merasakan gaya hidup yang menyatu dengan alam. Dari rumah kayu hingga upacara adat, desa-desa ini menjadi contoh nyata keberlanjutan.
Berikut empat desa adat di Indonesia yang menawarkan keunikan budaya dan keindahan alam yang terjaga.
1. Desa Adat Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur
Terletak di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, Desa Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, dikenal sebagai “desa di atas awan”. Tempat ini dikelilingi hutan lebat dan pegunungan, serta hanya bisa dicapai dengan trekking selama 2-3 jam dari desa terakhir, Denge. Warga Wae Rebo tinggal di tujuh rumah adat berbentuk kerucut, Mbaru Niang, yang menjadi ikon desa. Rumah-rumah ini melingkari sebuah batu pesat bernama compang, simbol hubungan masyarakat dengan leluhur dan alam.
Warga hidup dari hasil kebun kopi dan menjaga hutan adat secara ketat agar tetap lestari. Pengunjung dapat menginap selama 1-2 hari, belajar kehidupan adat, menyaksikan upacara adat Penti sebagai bentuk syukur atas hasil panen, serta permainan tradisional Rangku Alu yang melibatkan irama bambu dan kelincahan gerak. Desa ini mendapatkan penghargaan tertinggi dari UNESCO Asia-Pacific Awards for Heritage Conservation pada 2012.
Biaya tiket masuk berkisar antara Rp25.000 hingga Rp50.000 per orang, sedangkan biaya menginap dan makan bersama warga sekitar Rp350.000-400.000 per malam. Perjalanan menuju Wae Rebo memang menantang, tetapi akan terbayar dengan suasana damai dan nilai-nilai hidup yang selaras dengan alam.
2. Kampung Naga, Tasikmalaya
Kampung Naga di Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, adalah contoh desa adat yang menjaga kearifan lokal dan harmonis dengan alam. Terletak di lembah subur yang diapit hutan dan Sungai Ciwulan, desa ini dihuni oleh masyarakat Sunda yang hidup selaras dengan tradisi leluhur. Nama "Kampung Naga" berasal dari kata "nagawir" yang berarti lembah curam, bukan dari makhluk mitologi naga.
Untuk mencapai kampung ini, pengunjung harus menuruni lebih dari 400 anak tangga yang dikelilingi pepohonan hijau. Warga tinggal di rumah panggung berbahan bambu, kayu, dan beratap daun nipah atau ijuk. Arsitektur mereka seragam dan tidak menggunakan tembok maupun cat, menunjukkan kesederhanaan dan nilai kesetaraan antar warga.
Mereka hidup tanpa listrik dan menolak modernisasi berlebihan demi menjaga kelestarian lingkungan. Selain bertani dan menganyam, masyarakat juga rutin menggelar upacara adat dan memegang teguh budaya Islam yang dibaurkan dengan kepercayaan lokal. Tiket masuk sekitar Rp10.000 per orang, dan wisatawan diimbau menghormati adat yang berlaku.
3. Desa Kemiren, Banyuwangi
Terletak di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Desa Kemiren merupakan pusat kebudayaan suku Osing, satu-satunya suku asli Banyuwangi. Nama "Kemiren" berasal dari banyaknya pohon kemiri di daerah tersebut. Desa ini masuk dalam wilayah Ijen Geopark dan dekat dengan Taman Nasional Meru Betiri.
Desa ini memiliki berbagai tradisi seperti Barong Ider Bumi, Tradisi Gedhogan, pertunjukan Gandrung, serta seni mocoan lontar Yusup. Sebagai desa wisata berbasis adat, Kemiren telah mengembangkan paket edukatif seperti menyaksikan rumah adat Osing, belajar menyeduh kopi tradisional, hingga mencicipi kuliner khas seperti pecel pitik, tahu walik, dan uyah asem.
Pengunjung bisa menginap di homestay warga, yang jumlahnya mencapai lebih dari 40 unit. Desa Kemiren meraih juara 2 Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024 dalam kategori Kelembagaan dan SDM. Harga tiket masuk sekitar Rp10.000-Rp15.000 per orang, tergantung paket wisata.
Keberlanjutan dan Nilai Budaya
Di balik keindahan alam yang memukau, aturan tak tertulis yang diwariskan turun-temurun menjadi pelindung bagi hutan, sungai, gunung, dan sumber mata air. Masyarakat adat meyakini bahwa alam bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk dihormati. Dari pantangan menebang pohon sembarangan hingga upacara syukur saat panen, nilai-nilai ini menjadi sistem pelestarian yang terbukti menjaga ekosistem tetap lestari.
Warga menjadi penjaga alami bumi, mengawasi batas hutan, merawat mata air, menanam kembali pohon, dan hidup dengan ritme alam. Wisatawan pun diharapkan turut menghormati nilai-nilai tersebut. Saat berkunjung ke desa adat, kenakan pakaian sopan, jaga sikap, dan jangan sembarangan mengambil foto atau menyentuh benda sakral. Dengarkan arahan warga lokal, ikuti tata cara yang berlaku, dan jangan membawa pulang apapun dari alam kecuali cerita dan pengalaman.
Dengan begitu, wisata berbasis adat bukan hanya perjalanan mata, tetapi juga perjalanan jiwa untuk mendekatkan diri pada filosofi hidup yang penuh keselarasan. Bersama masyarakat adat, mari rawat alam Indonesia dengan lebih bijak. Dengarkan suara mereka, hormati tradisi, dan belajarlah dari cara hidup yang mengutamakan keseimbangan. Karena menjaga bumi bukan tugas segelintir orang, tapi tanggung jawab kita semua—dimulai dari cara kita berkunjung, bertutur, dan bersikap.