Posts

Berlayar ke Amakusa, Surga Hijau di Selatan Kyushu

Featured Image

Pengalaman Perjalanan ke Amakusa

Setelah sekitar 50 menit perjalanan dengan kereta api D&S A Train dari Kumamoto, kami tiba di Misumi. Begitu turun dari kereta, masih di dalam stasiun, ada Tourist Information centre. Kami mampir sebentar dan melihat jadwal kereta kembali ke Kumamoto serta jadwal feri ke Amakusa. Petugasnya, seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun, menjawab pertanyaan dengan ramah, walau dalam bahasa Jepang campur Inggris yang terbata-bata.

Dar luar stasiun, saya mengagumi keindahan stasiun Misumi. Stasiun ini, walau mungkin tak banyak disebut dalam panduan wisata, berdiri anggun dengan arsitektur barat klasik: krem pucat, atap merah bata, dan menara kecil bertahtakan salib putih di atasnya seperti gereja tua di kaki bukit di Swiss. Tapi ini Jepang, dan langit di atasnya adalah langit Kyushu yang biru pekat di musim panas yang membakar kulit, tapi menyegarkan mata.

Di halaman stasiun, angin laut membawa aroma asin yang tipis. Kami baru turun dari A-Train yang elegan dan penuh nostalgia, kereta hitam-hijau keemasan yang sebelumnya kami tumpangi dari Kumamoto. Namun, untuk kembali ke Kumamoto nanti, kami tidak lagi naik A-Train—bukan karena tak suka, tapi karena tiket reservasinya ingin kami simpan untuk kereta D&S lain seperti Yufuin no Mori atau Aso Boy.

Cuaca Siang itu lumayan panas menyengat. Musim panas Kyushu di bulan Agustus memang dikenal ganas. Matahari memancar dari segala arah, memantul di permukaan laut, di atap mobil, bahkan di ubin halaman toko. Untungnya, kami membawa payung yang kami pinjam dari hotel. Payung ini bukan untuk hujan, melainkan untuk bertahan dari sengatan matahari. Payung itu pun unik: bisa digunakan juga menjadi tongkat.

Lalu kami melangkah santai ke dermaga yang jatuhnya sekitar lima menit berjalan dan antri membeli tiket feri Takarajima Line—tiket pulang-pergi seharga 1.800 per orang. Di sana, kapal Vista Bonita sudah menunggu di atas air yang tenang. Kapal itu tidak terlalu besar, tapi terlihat modern dan nyaman, dan tampak kokoh. Tertulis "Sea Cruise" di sisi badannya, dengan dekorasi sederhana dan warna putih yang dominan. Kapastas penumpangnya mungkin sekitar 90 orang saja dan kami bisa memilih duduk di dek yang lebih terbuka atau di dalam kabin.

Kapal feri mungkin ini dirancang tidak hanya untuk perjalanan pulang pergi, tetapi juga sebagai mini-cruise wisata—dengan dek observasi yang nyaman dan pemandangan laut sekitar yang menawan, termasuk cruise melihat lumba-lumba.

Perjalanan dimulai dengan gemuruh mesin pelan dan riak air yang halus. Laut di sini tampak seperti kaca raksasa yang pecah perlahan—tenang, namun memantulkan cahaya mentari siang dengan kekuatan penuh. Udara asin bercampur dengan semilir angin, dan di kejauhan, gugusan pulau-pulau kecil mulai tampak seperti punggung kura-kura yang timbul dari samudra. Dan jauh di sana, Gunung Unzen berdiri megah, siluetnya menjulang di balik lapisan awan tipis.

Amakusa. Nama yang terdengar seperti puisi itu perlahan mendekat. Begitu kapal bersandar di pelabuhan Matsushima, kami disambut dengan atmosfer yang sangat khas kota kecil Jepang: bersih, tenang, dan penuh kejutan manis. Sebuah taman kecil menyambut di depan pelabuhan, lengkap dengan playground dan patung Kumamon besar yang mengangkat tangan.

Di sisi taman, berdirilah sebuah food truck pink cerah berbentuk babi. Di atasnya, hiasan bergelantung seperti lampu karnaval dan pita kecil—seolah datang langsung dari film animasi Studio Ghibli. Food truck itu menjual minuman dingin dan manisan lokal, dan tentu saja, menjadi tempat selfie favorit pengunjung.

Kami berjalan kaki menuju Pearl Garden, taman kecil yang terawat dan menghadap langsung ke laut. Di sana terdapat instalasi logam berbentuk multi lingkaran mirip obat nyamuk bertuliskan Amakusa Matsushima dalam aksara Jepang. Di sekitarnya Ada hiasan tanaman dan kursi-kursi kayu. Ini spot foto yang cantik, apalagi dengan latar belakang dermaga dan perbukitan di seberangnya.

Suasana siang itu lumayan ramai dan aroma liburan sangat terasa. Kami sempat masuk ke toko yang menjual roti, manisan lokal, dan keripik laut khas Amakusa, serta berbagai suvenir. Saya sempat mencicipi salah satu roti paling terkenal di Amakusa, yaitu ShioPan—roti asin yang terbuat dari garam asli laut Amakusa. Rasanya gurih lembut, kulitnya renyah, dan aroma asin khasnya bikin nagih.

Selain itu istri juga membeli melon pan, roti manis khas Jepang yang terkenal karena bentuk dan teksturnya yang unik—bagian luar renyah seperti kue kering, sementara bagian dalamnya lembut dan empuk seperti roti susu. Di toko lainnya, dijual juga maskot Kumamon dalam berbagai bentuk: gantungan kunci, bantal, kaus, bahkan botol saus ikan.

Setelah cukup lama jalan-Jalan Dan menikmati suasana pantai, perut mulai berontak minta diisi. Kami mampir ke sebuah restoran yang menyajikan menu Jepang dan barat, suasana cukup ramai dengan pengunjung. Kami memesan filet ikan goreng. Nama ikan ini dalam bahasa Jepang adalah ikan aji dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi horse mackerel. Ikan yang renyah dengan rasa asin-manis yang pas, disajikan dengan nasi putih dan acar halus. Menu ini disajikab lengkap dengan semangkuk kerang rebus yang lezat. Menu makanan laut sangat pas dinikmati di sini.

Tidak terasa Sudah lebih dua jam kami di pulau ini. Tiba waktunya untuk kembali ke dermaga dan menunggu kapal menuju Misumi. Ketika menuju ke dermaga saya baru ingat bahwa payung saya tertinggal di depan toilet di dekat toko tempat kami membeli roti. Saya segera bergegas kembali ke sana dan ternyata payung itu masih aman berada di tempat semula.

Dalam perjalanan pulang, pemandangan menjadi semakin magis ketika langit mulai berubah warna. Sinar matahari sudah mulai miring, dan dari atas dek, kami bisa melihat siluet Gunung Unzen berdiri menjulang megah di kejauhan. Gunung itu tidak seaktif dulu, tapi tetap memancarkan aura penuh mistis: saksi letusan besar di abad ke-18 dan kemudian bencana lahar pada 1991.

Namun, ada bagian perjalanan yang lebih mengejutkan: saat kapal perlahan melintasi jembatan demi jembatan yang dikenal sebagai Amakusa Goky—lima jembatan indah yang menghubungkan gugusan pulau utama Amakusa. Jembatan-jembatan itu masing-masing punya nama dan bentuk berbeda, namun semuanya berdiri megah, seperti gerbang langit yang menghubungkan daratan dan pulau. Jembatan-jembatan itu—Tenmonbashi, Oyano Ohashi, Nagaura Ohashi, Maeshima Ohashi, dan Matsushima Ohashi—membentang seperti kawat harpa raksasa di atas laut. Masing-masing memiliki karakter dan sejarah sendiri, tapi bersama-sama mereka mewakili ambisi dan keindahan.

Dari atas dek kapal, mereka tampak menjulang agung, seperti gerbang-gerbang langit yang terbuka di atas air. Kami melihatnya dari bawah, dari atas air, dan semuanya tampak seperti lambang kemajuan teknologi Jepang yang tetap menjaga estetika alam.

Seketika, saya teringat bahwa tempat ini bukan hanya indah, tapi juga penuh luka dan sejarah. Amakusa adalah tanah yang menyimpan jejak kekristenan awal di Jepang. Di abad ke-16, para misionaris Portugis datang dan mengajarkan agama baru di wilayah ini. Banyak penduduk yang memeluk iman Kristen, hingga akhirnya pada abad ke-17, pemerintah Tokugawa melarang keras agama tersebut dan memburu para penganutnya. Salah satu pemberontakan terbesar—Pemberontakan Shimabara-Amakusa (1637-1638)—pecah sebagai reaksi atas penindasan keagamaan dan pajak yang tinggi.

Ribuan orang terbunuh dalam pemberontakan itu, termasuk banyak anak-anak dan perempuan. Mereka mempertahankan kastil kecil di Hara, di pesisir Amakusa, sebelum akhirnya seluruh benteng dibakar dan para pemberontak dibantai. Salah satu tokoh yang paling dikenang adalah Amakusa Shiro, pemuda 16 tahun yang dianggap pemimpin spiritual pemberontakan tersebut. Wajahnya kini terpahat dalam banyak monumen.

Setelah itu, kekristenan menjadi agama bawah tanah di Jepang—para pengikutnya disebut "Kakure Kirishitan" (Kristen yang bersembunyi). Mereka menjalankan ibadah diam-diam, menyamarkan Maria sebagai Kannon (dewi Kwan Im) , dan menciptakan doa-doa yang terdengar seperti mantra Buddha. Selama lebih dari dua abad, iman mereka bertahan dalam bisu dan sembunyi.

Jejak sejarah itu juga menyambung ke Nagasaki, tempat Monumen 26 Martir berdiri. Di sana, dua puluh enam orang Kristen—termasuk dua anak kecil—disalib pada tahun 1597 sebagai peringatan bagi siapa pun yang melawan shogun. Monumen itu kini berdiri menghadap ke pelabuhan dan saya ingat sempat mampir ke sana beberapa hari yang lalu dan ternyata sebagian dari 26 martir itu berasal dari Amakusa.

Pulau-pulau yang hari ini kami jelajahi dalam damai ini, dulunya penuh darah dan airmata. Tapi mereka bertahan. Seperti payung yang kami pinjam—meski hanya pelindung dari panas, meski sempat hilang—ia tetap menjadi simbol ketahanan kecil terhadap dunia yang kadang terlalu menyengat.

Perjalanan kembali ke Misumi terasa lebih hening. Kami menaiki kereta lokal—bukan A-Train, hanya gerbong biasa dengan bangku plastik abu-abu. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, segala hal terasa nyata. Kami duduk sambil melihat kembali foto-foto: kapal, food truck pink, instalasi taman, jembatan yang menjulang, dan tentu saja—laut yang tak pernah kehilangan pesonanya.

Dan meski pulau Okinawa secara teknis berada lebih selatan, rasanya perjalanan ke Amakusa hari itu adalah perjalanan ke titik paling selatan dalam batin kami. Ke tempat di mana cahaya menjadi lembut, sejarah bersatu dengan angin, dan waktu mengalir dengan kecepatan yang manusiawi.

Catatan Akhir: Amakusa bukan hanya destinasi wisata, tapi cermin yang memantulkan banyak wajah Jepang—keindahan, trauma, ketahanan, dan harmoni. Jika suatu hari pembaca sampai di Stasiun Misumi dan melihat kapal menunggu di dermaga, ambillah kesempatan itu. Karena mungkin di seberang laut sana, ada sesuatu yang dapat dikenang sepanjang hayat. Dan dalam perjalan pulang ini saya iseng membuka gadget dan menemukan bahwa amakusa sendiri dalam bahasa Jepang bermakna Rumput Surga.

Post a Comment

© RESTINDO. All rights reserved. Developed by Jago Desain