
Fenomena "Rojali" dan "Rohana" di Mal-Mal Besar Ibu Kota
Di tengah keramaian mal-mal besar di Jakarta, fenomena "Rojali" atau "rombongan jarang beli" dan "Rohana" atau "rombongan hanya nanya" semakin sering terlihat. Kelompok pengunjung ini biasanya datang berkelompok, menyusuri deretan etalase, tetapi sering kali tidak melakukan transaksi apa pun. Meski demikian, bagi sebagian orang, aktivitas ini bukan sekadar untuk berbelanja, melainkan cara untuk bersantai, menghibur diri, bahkan sebagai riset sebelum membeli barang secara online.
Alasan Masyarakat Mengunjungi Mal Tanpa Berbelanja
Di balik kepadatan pengunjung di mal, banyak di antaranya yang sebenarnya hanya melakukan window shopping, alias melihat-lihat barang tanpa niat membeli. Bagi sebagian orang, aktivitas ini bukan sekadar gaya hidup, tetapi juga bentuk adaptasi atas berbagai tekanan ekonomi yang membayangi, seperti harga barang yang tinggi di toko fisik, minimnya ruang publik yang layak, hingga kebutuhan untuk mencari tempat yang nyaman dan aman di tengah padatnya kota.
Salah satu alasan utama sejumlah pengunjung sering mendatangi mal tanpa membeli barang adalah untuk melepas penat. Dinda (21), mahasiswa tingkat akhir, mengatakan bahwa tujuannya datang ke sebuah mal bukan berarti harus untuk berbelanja. Ia mengaku datang ke mal untuk riset harga, bersosialisasi, atau sekadar merasakan pendingin udara di antara deretan etalase.
“Kadang kita cuma lihat-lihat aja, kayak nyari mood booster. Apalagi pas tanggal tua, barang dilihatin dulu, siapa tahu nanti bisa beli,” ujar Rani (22), salah satu pengunjung yang sering menghabiskan waktu di mall.
Kenyamanan dan Keamanan di Mal
Bagi banyak pengunjung seperti mereka, mal bukan sekadar tempat konsumsi, melainkan sarana untuk mengembalikan kewarasan di tengah tekanan hidup urban. Roshi (25) dan Rani (22) menilai bahwa mal memberikan kenyamanan yang sulit didapatkan dari ruang publik terbuka. “Kalau di taman kadang terlalu panas, terlalu ramai, atau malah nggak ada tempat duduk. Di mal, adem dan bisa ngademin pikiran juga,” tutur Rani.
Meskipun mengapresiasi keberadaan Hutan Kota GBK atau area terbuka lainnya, mereka menilai tempat-tempat tersebut masih belum bisa menggantikan kenyamanan mal. Selain itu, mal juga menjadi zona aman bagi perempuan di kota besar, karena lebih nyaman dan aman dibanding ruang terbuka.
Perubahan Pola Belanja dan Pengaruh E-Commerce
Meskipun datang ke mal, tak sedikit orang memilih berbelanja secara daring. Dinda menyebut window shopping sebagai strategi. “Aku ke mal dulu buat lihat barangnya langsung. Tapi tetap belinya di e-commerce, karena harganya jauh lebih murah,” katanya. Menurut Dinda, melihat produk secara langsung memberi rasa aman sebelum memutuskan membeli secara daring.
Sementara itu, Rani dan Roshi juga kerap menunda pembelian dan menjadikan kunjungan ke mal sebagai langkah untuk meriset harga barang yang ingin dibeli. “Kadang kita catat dulu, siapa tahu pas rezeki udah ada baru kita beli. Jadi semacam self-reward juga,” kata Roshi.
Penjualan di Mal Menurun, Pengunjung Lebih Banyak
Mal yang ramai dengan pengunjung ternyata tidak selalu berdampak pada penjualan yang meningkat. Arlo (27), penjaga toko optik di Grand Indonesia, menyebut penjualan turun drastis dalam dua tahun terakhir. “Dulu bisa 80 persen (pengunjung beli), sekarang tinggal 50 sampai 60 persen,” katanya. Menurut Arlo, fenomena Rojali dan Rohana semakin terasa pada tahun ini, karena kini ia sering mendapatkan pengunjung yang hanya sekadar mencoba-coba, bahkan foto-foto dengan produknya yang dijual.
Arlo mengungkapkan, toko optik yang dulu mengandalkan pelanggan tetap dan pembeli langsung kini harus bersaing dengan e-commerce yang menawarkan diskon besar dan fleksibilitas. “Harga online jauh lebih murah, diskonnya gede. Kita bersaing terus,” kata Arlo.
Fenomena Rojali Sebagai Gejala Sosial
Fenomena Rojali dan Rohana rupanya tak luput dari perhatian Badan Pusat Statistik (BPS). Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menilai pola ini mencerminkan dinamika konsumsi masyarakat yang berubah, bukan semata-mata soal kemiskinan. “Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan kemiskinan. Tetapi ini relevan juga sebagai gejala sosial,” kata Ateng dalam konferensi pers.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, BPS mencatat bahwa kelompok pengeluaran atas sekalipun mulai menahan konsumsi. Hal ini belum berdampak langsung ke angka kemiskinan, tetapi memperlihatkan tekanan ekonomi yang luas. Angka setengah pengangguran di perkotaan meningkat 460.000 orang dalam setengah tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa keterbatasan pendapatan juga dialami kelompok rentan di wilayah urban.
Ateng menilai bahwa fenomena Rojali bisa menjadi alarm bagi pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah bawah. “Jangan cuma fokus ke angka kemiskinan, tapi juga lihat stabilitas ekonomi rumah tangga,” ujarnya. Dengan kata lain, Rojali adalah cerminan dari masyarakat yang tetap ingin menikmati hidup di tengah keterbatasan. Mereka mungkin tidak membeli hari ini, tapi kehadirannya adalah sinyal sosial yang tidak boleh diabaikan.